-->

Monday, January 18, 2010

Gempa & Tsunami Dahsyat Berpotensi Terjadi Lagi di Sumatera

Gempa & Tsunami Dahsyat Berpotensi Terjadi Lagi di Sumatera

detikcom - Senin, 18 Januari
Gempa & Tsunami Dahsyat Berpotensi Terjadi Lagi di Sumatera
Indonesia pernah mengalami gempa dan tsunami dahsyat di Aceh dan sekitarnya. Gempa dan tsunami serupa yang menewaskan banyak orang seperti peristiwa 26 Desember 2004 itu bisa terjadi lagi di Sumatera. Dan kota Padang yang baru diguncang gempa tahun lalu, sebagai garis bidiknya.
Demikian peringatan yang disampaikan tim ahli seismologi seperti dilansir kantor berita AFP, Senin (18/1/2010). Peringatan itu dituangkan dalam surat untuk jurnal Nature Geoscience.
Tim ini dipimpin oleh ilmuwan terkemuka John McCloskey, profesor di Institut Riset Sains Lingkungan Hidup di Universitas Ulster, Irlandia Utara. McCloskey terkenal sejak prediksi gempa Sumatera yang cukup akurat di tahun 2005.
Dikatakan tim itu, bahaya tersebut berasal dari dari penumpukan tekanan yang terus-menerus dalam dua abad terakhir di belahan parit Sunda (Sunda Trench), salah satu zona gempa paling mengerikan di dunia, yang berlangsung paralel ke pantai Sumatera bagian barat.
"Ancaman gempa penyebab tsunami yang dahsyat dengan skala kekuatan lebih dari 8,5 di tambalan Mentawai tidak berkurang.... Ada potensi timbulnya korban jiwa sebesar tsunami Samudera Hindia tahun 2004," demikian peringatan tersebut.
Tidak disebutkan kapan waktu kejadian tersebut. Namun dengan jelas diingatkan bahaya untuk Padang, kota dengan 850 ribu jiwa penduduk yang terletak di wilayah yang berisiko tersebut.
"Ancaman untuk peristiwa itu adalah jelas dan kebutuhan untuk aksi mendesak sangatlah tinggi," demikian peringatan para ahli seismologi tersebut.
Lebih dari 220 ribu orang tewas dalam bencana tsunami 26 Desember 2004 saat gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter mengguncang parit Sunda bagian Utara.
Pada Maret 2005 lalu, McCloskey telah mengingatkan bahwa gempa yang terjadi pada 26 Desember 2004 tersebut telah menciptakan tekanan utama di bagian yang berdempetan dari kecacatan di sebelah Selatan. Dikatakannya, getaran di wilayah gempa dengan kekuatan 8,5 Skala Richter dengan kapasitas yang mampu menciptakan tsunami akan terjadi dan mengingatkan pemerintah setempat untuk bersiap-siap.
Prediksi McCloskey terbukti kebenarannya dalam dua minggu. Pada 28 Maret 2005, gempa dengan kekuatan 8,6 Skala Richter menerjang Pulau Simeulue dan menciptakan tsunami setinggi 3 meter.
Kini tim McCloskey mengingatkan pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah guna menyiapkan diri terhadap risiko gempa bumi berikutnya di Padang usai gempa dahsyat di Padang pada 30 September 2009.
"Penting sekali bahwa pemerintah Indonesia dengan bantuan komunitas internasional dan organisasi-organisasi nonpemerintah, memastikan bahwa mereka menuntaskan upaya bantuan dan pembangunan tahan gempa usai gempa bumi ini, dan bekerja sama dengan rakyat Padang untuk membantu mereka menyiapkan diri untuk gempa berikutnya," pungkas mereka.

SERTIFIKASI EKOLABEL HUTAN DALAM ERA CARBON TRADE

Pendahuluan

Penyebab utama pemanasan global (global warming) adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Ada 2 kelompok gas rumah kaca yaitu :

  • Kelompok gas rumah kaca berpengaruh langsung : CO2 (karbon dioksida), CH4 (Metana), N2O (Nitro oksida), PFCs (Perfluorocarbons) dan HFCs (Hydrofluorocarbons) ;
  • Kelompok gas rumah kaca tidak berpengaruh langsung : SO2, NOx, CO dan NMVOC

Dari semua jenis gas rumah kaca tersebut, gas CO2 menempati urutan pertama penyebab pemanasan global. Berdasarkan penelitian para ahli porsi terbesar pelepasan gas CO2 ke atmosfer adalah sektor industri yaitu sebesar 80%. Sisanya adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan lain-lain.

Untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di atmosfer terutama gas CO2, negara-negara di dunia termasuk Indonesia sepakat untuk melakukan penurunan emisi gas tersebut yang tergabung dalam wadah internasional yaitu UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). Semua sektor kehidupan dituntut untuk ikut menurunkan emisi gas CO2 tersebuText Box: LEI, lembaga ekolabel indonesia, sertifikasi ekolabel LEI, REDD, carbon trade, perdagangan karbon, voluntary carbon trade, sertifikasi ekolabel hutan dalam era carbon tradet, termasuk di dalamnya sektor industri, perdagangan dan kehutanan. Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor kayu, baik itu kayu mentah, kayu olahan ataupun berbentuk barang produksi jadi seperti furniture dituntut untuk memiliki komitmen dalam penurunan emisi karbon tersebut. Diantara pengakuan masyarakat internasional mengenai komitmen tersebut adalah adanya bukti fisik berupa sertifikat ekolabel terhadap produk-produk kehutanan dan perkebunan. Pada saat ini pasar Amerika, Eropa dan Jepang sudah menerapkan persyaratan ekolabeling terhadap produk-produk ekspor yang masuk ke pasar mereka. Sehingga produk-produk furniture ataupun bahan kayu setengah jadi akan sangat sulit menembus pasar mereka seandainya kita tidak memiliki sertifikat ekolabel terhadap produk yang kita ekspor.


Sertifikasi Ekolabel dari LEI

Sertifikasi ekolabel merupakan sertifikasi yang digunakan untuk memberi nilai bahwa suatu produk merupakan hasil dari kegiatan pengelolaan hutan yang memperhatikan norma-norma lingkungan hidup, norma ekonomi dan norma sosial, sehingga kelestarian sumber daya alam dapat terjaga. Sertifikasi LEI merupakan sertifikasi ekolabel yang dikembangkan oleh LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) yang bertujuan untuk mendorong perbaikan-perbaikan pengelolaan hutan di Indonesia melalui penerapan standar pengelolaan dengan harapan dapat mengembalikan jalur pengelolaan hutan dan memperbaiki kondisi pengelolaan hutan agar menjadi lebih baik. Hutan maupun industri yang mengolah hasil hutan perlu melalui proses sertifikasi apabila ingin menghasilkan produk hasil hutan yang bersertifikat. Kawasan hutan yang telah lolos penilaian sertifikasi ditandai dengan adanya sertifikat, sedangkan produk-produk hasil hutan yang telah lolos penilaian sertifikasi ditandai dengan adanya sertifikat dan label. Label berupa logo LEI pada produk-produk kayu memberikan jaminan bahwa keseluruhan produksi, mulai dari sumber bahan baku, hingga ke pengolahan akhir memenuhi nilai-nilai lingkungan, sosial dan ekonomi.

Arti penting sertifikasi ekolabel di Indonesia adalah sebagai berikut :

  • Sebagai alat untuk mencapai hubungan yang saling melengkapi antara kepentingan lingkungan, kelestarian sumber daya hutan dengan kepentingan ekonomi dan perdagangan.
  • Dari sisi konsumen yaitu konsumen yang cinta lingkungan mempunyai pilihan atas produk-produk yang ramah lingkungan dan berasal dari hutan yang dikelola secara ramah lingkungan.
  • Dari sisi pengusaha yaitu para pengusaha mempunyai alat untuk menunjukkan kemampuannya mengelola usahanya, legalitasnya dan menunjukkan tanggung jawab moralnya terhadap lingkungan dan masyarakat. Pengusaha pada akhirnya dapat menikmati akses yang meningkat karena dapat menembus pasar yang ecosensitive.


Perbandingan sertifikasi LEI dengan FSC

Sertifikasi ekolabel secara umum merupakan seperangkat standar yang terdiri dari kriteria dan indikator sertifikasi, yang digunakan sebagai alat untuk menilai dan menentukan peringkat baik dan buruknya kinerja unit manajemen. Sertifikasi ekolabel yang mendasari prinsip-prinsip sertifikasi ekolabel LEI maupun sertifikasi ekolabel negara lain adalah sertifikasi ekolabel FSC (Forest Stewardship Council). Dari hasil penelitian selama tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 melalui program bersama sertifikasi LEI dengan FSC, serta hasil penelitian Dr. Alexander Heinrich dan Agung Prasetyo menggunakan FCAG (forest certification assessment guide) diperoleh perbandingan sistem sebagai berikut :


ASPEK

FSC

LEI

Pemerintahan

Berbasis konstituen yaitu : aspek sosial, ekologi dan ekonomi

Berbasis konstituen yaitu aspek kelompok, dunia usaha, masyarakat dan LSM

Sejarah

Didirikan oleh organisasi masyarakat sipil untuk memberikan penilaian dan verifikasi independen dari pengelolaan hutan

Didirikan oleh kelompok independen dan organisasi masyarakat sipil yang independen untuk memberikan penilaian dan verifikasi atas pengelolaan hutan di Indonesia

Metode Assesment

Berbasis kinerja

Berbasis kinerja

Personel for Assessment

Tidak jelas persyaratan

Persyaratan yang jelas, dan harus terdaftar di LEI atau terakreditasi Badan Registrasi

Proses pembuatan keputusan

keputusan dibuat oleh penilai

Menggunakan metode analisa berjenjang, melalui proses berlapis (penilaian oleh penilai dan pengambilan keputusan oleh panel)

Keterlibatan stakeholders

Memerlukan konsultasi publik, namun tidak dikhususkan konsultasi secara langsung, dapat dilakukan melalui milis atau media lain

Diharuskan konsultasi langsung

Akreditasi

Terpisah dari standar pembangunan, tetapi masih relatif sama

Tidak terpisahkan

Cakupan operasi dan standar pembangunan

Beroperasi secara global, Setiap negara diperbolehkan mengembangkan inisiatif sendiri berdasarkan prinsip-prinsip FSC. Tidak ada perbedaan berdasarkan jenis hutan

Beroperasi secara nasional. Standar yang dikembang-kan dirinci lebih dalam. Kriteria, indikator dan verifikasinya dibedakan untuk jenis hutan : alam, perkebunan, masyarakat dan CoC (sertifikat lacak balak)

Kebijakan Perkebunan

Dengan cut-off tahun 1994

Tanpa cut-off time, tetapi berdasarkan keadaan tempat spesifik dengan menilai risiko konversi menjadi perkebunan dan ancaman perubahan menjadi lingkungan sosial dan pemukiman

Tahapan Sertifikasi LEI

Proses sertifikasi LEI dibagi dalam 5 tahapan dengan memisahkan antara proses pengambilan data dengan proses pengambilan keputusan. Dalam masing-masing proses tersebut selalu melibatkan stakeholder dan hal ini salah satu perbedaan dengan sertifikasi FSC. Berikut adalah tahapan-tahapan sertifikasi LEI :

  • Tahap 1 yaitu mengirimkan aplikasi sertifikasi kepada Lembaga Sertifikasi yang sudah diakreditasi oleh LEI
  • Tahap 2 yaitu Pra-penilaian lapangan. Tahapan ini merupakan penilaian atas dokumen pengusahaan hutan, lingkup lapangan dan rekomendasi dari panel pakar untuk meneruskan atau menghentikan proses sertifikasi. Rekomendasi untuk meneruskan dapat berupa rekomendasi untuk menempuh proses sertifikasi bertahap atau langsung ke tahap penilaian lapangan.
  • Tahap 3 yaitu Penilaian Lapangan dan Masukan Publik. Lembaga Sertifikasi akan melakukan penilaian lapangan dan memfasilitasi masukan publik sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan bagi panel pakar.
  • Tahap 4 yaitu Evaluasi Kinerja dan Pengambilan Keputusan Sertifikasi. Panel Pakar mengevaluasi kinerja unit pengelola hutan berdasarkan dokumen yang dikumpulkan, laporan penilaian lapangan dan masukan dari publik. Panel Pakar merumuskan rekomendasi atas evaluasi kinerja unit pengelola hutan.
  • Tahap 5 yaitu Keputusan Sertifikasi. Lembaga Sertifikasi menetapkan keputusan sertifikasi untuk diumumkan kepada publik, juga menetapkan periode penilikan atas unit pengelola hutan yang bersangkutan. Jika ada keberatan ataupun klaim atas keputusan sertifikasi, keberatan dapat diajukan kepada Lembaga Sertifikasi.


Standar Sertifikasi LEI

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah mengembangkan sistem dan standar sertifikasi untuk hutan alam, hutan tanaman, dan pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat (community based forest management). Secara umum di Indonesia terdapat 3 tipe pengelolaan hutan dan pengelolanya yaitu tipe pengelolaan hutan alam yang dikelola oleh para pemilik HPH, tipe pengelolaan hutan tanaman yang dikelola oleh HTI, dan tipe pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat yang dikelola sebagai hutan rakyat (hutan milik) atau hutan adat.

Berikut ini adalah jenis-jenis standar sertifikasi dari LEI telah berjalan, dikembangkan dan berlaku di Indonesia :

  • Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL),
  • Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL),
  • Sertifikasi Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat Lestari (PHBML),
  • Sertifikasi Lacak Balak yang diperuntukkan bagi industri pengolahan hasil hutan kayu,
  • Sertifikasi Bertahap yang diperuntukkan bagi unit pengelola hutan yang memiliki komitmen untuk memperbaiki kinerja pengelolaan hutannya namun masih memiliki beberapa persoalan atau kendala untuk memenuhi standard yang ada.


Keterkaitan Carbon Trade dengan Sertifikasi Ekolabel di Indonesia

Carbon Trade (perdagangan karbon) merupakan mekanisme pasar yang diperuntukkan untuk menanggulangi pemanasan global, dimana salah satu unsur penyebab terbesar pemanasan global adalah emisi gas karbon dioksida (CO2). Melalui Kyoto Protocol, setiap negara diwajibkan untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida rata-rata 5,2% untuk kurun waktu tahun 2008 sampai tahun 2012.

Indonesia melalui COP ke-13 UNFCCC yang diselenggarakan di Bali pada tahun 2007, telah memiliki skema penurunan emisi karbon yang dikenal dengan istilah REDD (reduced emissions from deforestation and degradation). Skema penurunan emisi karbon REDD merupakan skema nasional yang sampai saat ini belum bisa dilaksanakan karena terbentur banyak permasalahan diantaranya adalah regulasi atau peraturan, mekanisme pelaksanaan REDD, penjaminan kondisi hutan tetap utuh, jumlah karbon yang terkandung di seluruh hutan Indonesia dan kompensasi dana bagi masyarakat setempat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka carbon trade untuk skala nasional kemungkinan besar masih jauh untuk bisa dilaksanakan. Walaupun PBB mentargetkan bahwa REDD pada Tahun 2013 sudah bisa berjalan di Indonesia.

Secara garis besar perdagangan karbon (carbon trade) ada dua jenis yaitu perdagangan karbon tingkat global dan perdagangan karbon tingkat proyek (voluntary carbon trade). Untuk perdagangan karbon di Indonesia saat ini lebih siap di tingkat proyek walaupun mekanisme pasar, peraturan perundangan dan lembaga terkait belum terbentuk. Ada dua komponen utama dalam perdagangan yaitu penjual dan pembeli. Dalam perdagangan karbon yang menjadi pembeli adalah kelompok-kelompok industri penyumbang terjadinya emisi karbon dan penjual adalah kelompok-kelompok yang melakukan usaha untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida.

Unit manajemen lahan pemegang sertifikat ekolabel merupakan salah satu pihak yang berada dalam posisi penjual offset karbon. Sehingga mereka bisa menjual offset karbon yang terkandung dalam unit lahan mereka kepada pembeli. Jual beli offset karbon oleh pengelola unit lahan dapat terjadi apabila pengelola unit lahan tersebut sudah memiliki sertifikat ekolabel. Para pemegang sertifikat ekolabel LEI diawasi dan dinilai kinerja dan komitmen mereka dalam pengelolaan hutan lestari. Pasar offset karbon tingkat broker saat ini berkisar antara $4 - $10 per ton CO2 yang tersimpan.

Indonesia memiliki banyak hutan baik itu kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan seperti hutan adat yang berpotensi mendapatkan kompensasi dalam peranannya menurunkan emisi gas karbon dioksida. Untuk mendapatkan kompensasi seperti itu, tentunya hutan-hutan tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan sertifikasi ekolabel. Sampai saat ini, masih sangat sedikit hutan di Indonesia yang sudah mendapatkan sertifikasi dari LEI.


Permasalahan

Adapun permasalahan yang dihadapi dalam rangka carbon trade baik itu tingkat proyek (voluntary carbon trade) maupun tingkat nasional adalah sebagai berikut :

  • Kurangnya informasi mengenai sertifikasi ekolabel di Indonesia baik itu di lingkungan pemerintahan, swasta dan masyarakat umum
  • Kurangnya informasi mengenai carbon trade yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat luas di Indonesia.
  • Pemerintah belum menyiapkan peraturan perundang-undangan terkait dengan carbon trade dan ecolabelling, serta lembaga-lembaga pengawas terkait dengan kegiatan tersebut.
  • Belum siapnya database kehutanan yang terintegrasi baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, apalagi integrasi database dengan sektor lain seperti halnya sektor perkebunan dan perdagangan.
  • Kurangnya komunikasi antara lembaga departemen terkait, maupun antara pemerintah, swasta dan masyarakat.


Saran

Untuk mempersiapkan carbon trade baik itu untuk skala nasional maupun tingkat project (voluntary carbon trade) maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :

  • Perlu segera dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah carbon trade yang mengatur masing-masing komponen yang terlibat dalam carbon trade. Dalam peraturan perundangan tersebut harus mencakup hak dan kewajiban masing-masing (pemerintah, swasta, broker, investor, LSM, masyarakat), serta mekanisme pelaksanaan perdagangan baik tingkat bursa maupun tingkat proyek.
  • Perlu dibentuk lembaga pengawas untuk carbon trade yang mengawasi segala aktifitas perdagangan karbon di Indonesia baik itu untuk bursa karbon internasional, nasional ataupun tingkat proyek. Seperti halnya bursa valas dan bursa komoditi di Indonesia mempunyai lembaga pengawas bernama BAPPEBTI dan untuk bursa saham yaitu BAPPEPAM.
  • Sebagaimana salah satu yang diamanatkan oleh PBB mengenai carbon trade, maka dalam pelaksanaan carbon trade di Indonesia harus memberikan porsi pendapatan besar bagi masyarakat lokal sebagai insentif dalam menjaga hutan, sehingga bisa menjadi alternatif pendapatan masyarakat.
  • Perlunya kerjasama yang lebih intensif antara pihak Pemerintah, swasta, LEI, LSM dan masyarakat mengenai pelaksanaan sertifikasi ekolabel di Indonesia, sehingga diharapkan diperoleh data-data yang akurat mengenai lokasi yang akan disertifikasi. Harapannya adalah diperoleh database mengenai lokasi-lokasi yang akan disertifikasi berdasarkan skala prioritas atau skala kesiapan untuk disertifikasi.
  • Perlunya sosialisasi mengenai sertifikasi ekolabel dan carbon trade, baik itu ditingkat lembaga legislasi, departemen-departemen, pihak swasta terkait, LSM, para pelaku perdagangan yang terkait dengan sektor kehutanan, masyarakat sekitar kawasan dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.
  • Perlunya penguatan kelembagaan di tingkat unit manajemen pengelola hutan, sehingga mampu melaksanakan dan menjaga standar pengelolaan hutan lestari sesuai standar-standar sertifikasi yang diakui. Sebagai contoh : untuk sertifikasi hutan adat, maka perlu penguatan kelembagaan masyarakat adat sebagai pengelola hutan adat itu sendiri.
  • Perlunya penguatan database kehutanan yang terintegrasi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah bahkan tingkat areal proyek.